Nama Saussure dikenal oleh semua peneliti linguistik. Tapi tidak banyak orang yang membaca dan menghargai buah pikirannya karena tidak semua ahli linguistik memahami bahasa prancis yang menjadi media karya – karyanya. Kebanyakan ahli linguistik hanya menguasai bahasa inggris. Dalam bahasa inggris terdapat dua terjemahan: yang pertama oleh Wade Baskin (1959) dan yang kedua oleh Roy Harris (1984) namun melihat perkembangan linguistic, para ahli linguistik tidak membacanya secara teliti. (kecuali sarjana Amerika seperti Bloomfield dan Wells yang cermat mempelajari karya Saussure).
Untuk membuat karyanya sampai pada Indonesia. Tullio de Maruo, seorang sarjana Italia, menerjemahkan edisi kritis Mutakhir yang cukup andal. Di dalamnya tidak hanya terdapat karya Saussure melainkan tinjauan kritis yang mendalam dari Mauro.
Mongin – Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa pada 26 November 1857 dari keluarga Protestan (Huguneot) yang beremigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada abad ke – 16. Bakatnya dalam bidang bahasa sudah nampak dari kecil. Padaa umur 15 tahun ia menulis karangan “Essai surles langues” dan pada thaun 1874 ia mulai belajar bahasa sansekerta. Mula – mula ia belajar ilmu kimia dan fisika di Universitas Jenewa, kemudian belajar ilmu bahasa di Leizpig tahun 1876 – 1878 dan di Berlin tahun 1878 – 1879. ia belajar dari tokoh besar linguistik yaitu, Brugmann dan Hubschumann. Ia sudah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney, the Life and Growth of Language: an Outline of Linguistic of Science (1875), yang sangat mempengaruhi teorinya. Pada tahun 1880 ia mendapt gelar doktor summa cum laude dari Universitas Leizpig dengan disertasinya De l’emploi du genitif absolu en sanscrit.
Pada tahun 1978 ketika berusia 21 tahun (dua tahun sebelum memperoleh gelar doktor), Saussure membuktikan dirinya sebagai ahli linguistik historis yang cemerlang, tidak kalah dengan teman – teman sekelasnya yang kemudian terkenal sebagai kelompok Junggramatiker. Karyanya yang berjudul Memoire sur le systeme primitif des voyelles dans les langues indo eurepeenes ‘Catatan tentang sistem vokal purba dalam bahasa – bahasa Indo – Eropa’ merupakan bukti kecermelangan itu dan dalam usia semuda itu dia sudah dianggap tokoh besar. Karya tersebut merupakan contoh baik dalam penerapan metode rekonstruksi dalam guna menjelaskan hubungan absolut dalam bahasa – bahasa Eropa. Ia mengajukan hipotesis bahwa vokal – vokal panjang berasal dari vokal pendek dan luncuran dengan membuat analisi fonologis atas pola morfologis. (Hipotesis ini dibuktikan ketika bahasa Hatti ditemukan tahun 1927 oleh sarjana Polandia, J. Kurylowicz) Sumbangannya bagi linguistik historis tersebut sungguh besar, namun ia lebih dikenal lewat sumbangannya dalam linguistik umum. Ia mengajar bahasa Sansekerta, Gotik, dan Jerman Tinggi kuno serta linguistik komparatif Indo – Eropa di Ecola Pratiquedes Hautes Etudes Universitas Paris sejak ia berumur 24, menggantikan Michel Breal. (di antara mhasiwanya terdapat orang yang kemudian menjadi linguistik besar, seperti Meillet dan Grammont.) namun ia mengajar disitu sampai 1891 kemudian ia pindah ke Jenewa dan mengajar Sansekerta dan linguistik historis komparatif. Ahli linguistik sezaman yang dikenalnya antara lain Baudoin de Courtenay dan Kruszweski, sarjana – sarjana pelopor teori fonologi. Saussure menolak mengembangkan pandangan teoritisnya, namun pada akhirnya ia terpaksa memeri kuliah linguistik umum karena guru besar yang mengajar, Joseph Wertheimer, berhenti sebelum waktunya. Ia menjalankan tugasnya sampai ia meninggal pada 22 Februari 1913 . Tiga seri kuliahnya tentang linguistik umum dikumpulkan oleh beberapa mahasiswanya dan diterbitkan 1916 diberi judul Cours de Lingistique Generale (Pengantar Linguistik Umum) menjadikannya terkenal sebagai peletak dasar linguistik modern.
Tapi buku tersebut masih mengandung persoalan karena berasal dari catatan kuliah bebeapa mahasiswa, yakni Ch. Bally, A.Sechehaye, dan A. Riedlinger. (ketiganya menjadi ahli linguistik terkemuka). Kritis yang pernah diajukan bahwa:
Penyajiannya tidak seperti yang dibuat Saussure, jadi tidak sesuai urutan logis dalam argumentasinya.
Pembahasan tentang hakekat tanda bahasa tdak setuntas dalam catatan kuliahnya.
Uraian tentang bunyi bahsa tidak secermat yang disangka dilakukan oleh Saussure.
Kemudian munculah eksegis seperti yang dibuat oleh R.Godel (1957) dan R. Engler (1967). Edisi Tullio de Maruo yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia merupakan salah satu dari rangkaian edisi kuliah Saussure, namun yang membedakan adalah catatan – catatan yang dihasilkan dari penelitian yang mendalam dan meluas sehingga merupakan edisi Saussure yang representatif.
Dalam suratnya tahun 1894 kepada muridnya, Antoine Meillet, ia mengeluh bahwa linguistik tidak pernah berusaha menentukan hakekat objek yang diselidikinya, padahal tanpa operasi elementer seperti itu, suatu ilmu tidak dapat mengembangkan metode yang tepat. Dalam seri kuliah tiga lnguistik umum di Jenewa ia menguraikan hakekat bahasa dan aspek – aspek lainnya. Pada dasarnya Saussure mengemukakan masalah berikut:
Perbedaan antara langue, parole dan langage
Perbedaan diantara penyelidikan diakronis dan sinkronis
Hakekat apa yang disebut tanda bahasa
perbedaan antara hubungan asosiatif dan pragmatis dalam bahasa
perbedaan antara valensi, isi, dan pengertian
1. Perbedaan antara langue, parole dan langage
Saussure merasa bahwa penyelidikan ilmiah terhadap bahasa tidak harus dilakuan secara historis. Ia terpengaruh Emile Durkheim (1858 – 1917) yang menulis Des Regles de la Methode Sociologiques (1885) sehingga ia berkesimpulan bahwa kajian mengenai bahasa dapat bersifat ilmiah tanpa harus kembali ke sejarah.
Dalam buku itu Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat pantas diteliti secara ilmiah karena interaksi anggota – anggotanya menimbulkan adapt istiadat, tradis, dan kaidah perilaku yang seluruhnya membentuk kumpulan data yang mandiri. Fenomena yang disebutnya fakta sosial dapat diteliti secara ilmiah walaupun berada dalam dan melalui budi manusia. Fenomena diterima sebagai bagian dari warisan budayanya menunggu waktu lahir dan tetap ada setelah mati, mengendalikan inpuls – inpuls dasar dari jiwanya dan mengatur perilakunya agar sesuai dengan standar masyarakat. Atas dasar itu Durkheim membedakan kesadaran kolektif dan kesadaran individu. Fenomena itu bukan gejala psikologis maupun biologis, namun merupakan objek dari budi. Kesadaran akan fenomena itu datang dari pengamatan dan kita mengetahui keberadaannya melalui pengalaman.
Ajaran tersebut memberikan ransangan kepada Saussure dalam menyelidiki bahasa. Bahasa dapat dianggap sebagai “benda” yang terlepas dari penuturnya karena diwariskan dari penutur lain dan bukan ciptaan individu. Bahasa adalah fakta sosial karena meliputi suatu masyarakat dan menjadi kendala bagi penuturnya. Bahasa sebagai fakta sosial berada lepas dari perkembangan historisnya kalau tidak bahasa sekarang secara kualitatif berbeda dengan dahulu karena memperoleh unsur – unsur baru dan kehilangan beberapa unsur lain. Bahasa dapat dipelajari secara tepat terpisah dari perilaku penuturnya.
Dalam bahasa Perancis terdapat tiga kata yang mengandung pengertian bahasa, tetapi cukup berbeda. Yaitu langue, parole dan langage. Hal ini dimanfaatkan Saussure mengungkapkan bahasa sebagai benda atau objek yang dapat diteliti secara ilmiah.
Parole adalah keseluuhan apa yang diungkapkan orang, termasuk konstruksi – konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, atau pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi – konstruksi individu ini berdasarkan pilihan bebas juga. Dengan singkat Parole adalah manifestasi individu dari bahasa. Jadi Parole bukanlah fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil dari invidu yang sadar dan memberinya pilihan bebas. Gabungan Parole dan kaidah bahasa disebut langage. Meskipun meliputi masyarakat dan mengandung kendala sebagaiman terdapat dalam kaidah gramatikal, langage bukanlah fakta sosial karena didalamnya terkandung faktor – faktor individu yang berasal dari pribadi penutur. Bila penutur pribadi dan perilakunya dimasukan maka akan ada unsur kerelaan yang merupakan unsur yang tak teramalkan. Langage tidak mempunyai prinsip keutuhan yang memungkinkan kita untuk menelitinya secara ilmiah.
Kalau kita dapat menyisihkan unsur – unsur individu dari langage, maka kita dapat membuang unsur – unsur yang tak teramalkan dan kita memperoleh konsep bahasa yang sesuai dengan konsep sosial yang disebut langue sebagai “ langage dikurangi parole”. Langue adalah keseluruhan kebiasaaan yang diperoleh secara pasif yang diajarka oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur – unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Bila kita mendengar parole dari masyarakat lain kita hanya mendengar bunyi, bukan fakta sosial dari bahasa. Bila kita mendengar parole dari masyarakat kita kita menanggapi bunyi yang berkaitan dengan seperangkat kaidah yang dapat disebut konvensi atau tata bahasa. Kaidah ini merupakan kelaziman yang dipaksakan oleh pendidikan sehingga semua penutur dapat saling memahami dan memberikan kendala pada perorangan sehingga kita hanya mengaitkan bunyi dengan faktor sosial untuk berkomunikasi. Anak – anak sering bertanya mengapa harus memakai suatu bentuk dan bukannya bentuk lain.
Langue sifatnya tidak sempurna dalam diri penutur. Dalam parole termasuk apapun yang diungkapkan penutur. Langage mencakup apa pun yang diungkapkan serta kendala yang mencegahnya dari hal yang tidak gramatikal. Dalam langue terdapat batas negatif terhadap apa yang harus dikatakan bila menggunakan bahasa secara gramatikal. Menurut Saussure langue adalah suatu sistem nilai yang murni, yang ditentukan semata – mata oleh pengaturan unsur – unsur sesaat. Walaupun langue adalah abstraksi, Saussure tetap mempelajari bahasa secara ilmiah karena (1). ia berpendirian sudut pandang menciptakan objek penelitian. (2). tidak ada ilmu yang hanya mempelajari wujud konkret. Untuk membuat penyelidikan ilmiah perlu membuat ”penyederhanaan secara konvensional atas data” supaya objek dapat dibatasi. Dengan cara mengabstraksikan hal – hal konkret yang dipelajari suatu ilmu.
Saussure memberikan perbandingan sifat – sifat parole dan langue sebagai berikut:
parole sebagai perbuatan bertutur selamanya bersifat perorangan, bervariasi, berubah – ubah dan mengandung banyak hal baru. Di dalamnya tidak ada kesatuan sitem sehingga tidak dapat diteliti secara ilmiah.
supaya dapat didekati secara ilmiah sesuatu haruslah diam karena harus diukur dan dihitung. Parole terjadi dari pilihan perorangan yang tak terhitung jumlahnya , banyak sekali pengucapan dan kombinasi yang baru. Jadi, pemerian terhadap parole bersifat tak terbatas.
parole bukanlah sesuatu yang kolektif, perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen, dan merupakan perilaku pribadi. Parole dapat diungkapkan dengan rumus:
(1 + 1’ + 1’’ + 1’’’ …)
langue adalah pola kolektif, dimiliki bersama oleh semua penutur jadi bisa dirumuskan:
(1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 …) = 1
langue berada dalam bentuk “keseluruhan kesan yang tersimpan dalam dalam otak setiap orang” hampir menyerupai kamus yang ada pada setiap orang tapi tidak terpengaruh oleh kemauan pemiliknya.
langue adalah “produk sosial dari kemampuan bahasa dan sekaligus merupakan keseluruhan konversi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial untuk memungkinkannya menggunakan kemampuan itu.”
karena merupakan “tempat menyimpan tanda – tanda yang diterima oleh penutur lain dalam masyarakat.” Maka langue adalah benda pasif, sedangkan parole adalah benda aktif.
langue adalah perangkat konversi yang kita terima, siap pakai dari penutur terdahulu. Bahasa berubah sedemikian lambatnya sehingga kita mempelajarinya seolah – olah tidak ada perubahan.
Saussure menyimpulkan “ khayalan kalau langue dan parole ditilik dari satu sudut pandang.” Parole tidak dapat diselidiki karena bersifat heterogen. Parole tidak mungkin digambarkan terperinci karena melibatakan gerak otot yang tak terhitung. Langue dapat dan telah dipelajari tanpa mempertimbangkan wicara. Dari sini langue bersifat konkret karena merupakan tanda bahasa yang disepakati secara kolektif dan dapat diungkapkan dengan lambang tulisan yang lebih konvensional.
Langue adalah fakta sosial yang dapat diselidiki secara memadai karena mengandung pola – pola di belakang ujaran pada penutur.
2. Perbedaan di antara penyelidikan Sinkronis dan Diakronis
Dalam abad ke –19 para Junggramatiker mengatakan satu – satunya mempelajari bahasa ialah pendekatan histories atau pendekatan diakronis. Tapi menurut Saussure ada fakta lain yang yang hanya dapat diperoleh bila dipandang secara sinkronis.
Saussure mengganalogikan dengan batang pohon yang ditetak horisontal dan vertikal. Potongan horisontal merupakan cara sinkronis. Potongan itu menunjukan sel, lingkaran dan serat yang dapat dibandingkan dan dibedakan karena jelas tempatnya.
Potongan vertikal merupakan cara diakronis menunjukan makin keatas garis – garis yang samar akan bercabang dan berpisah, meluas keseluruh batang atau menyatu dengan serat lain.
Dari analogi diatas, kajian sinkronis mempunyai beberapa keuntungan praktis dan ilmiah. Pendekatan historis tidak dapat dimanfaatkan untuk mempelajari bentuk bahasa sampai diperoleh informasi tentang,1. hubungan sistematis dalam diantara bentuk itu dalam bahasa sebelumnya. 2. perbedaan diantara hubungan sistematis dalam berbagai tahap perkembangan bahasa. Ada kemungkinan bahwa data dari tahap sebelumnya lenyap. Untuk mempelajari sejarah suatu bahasa maupun membandingkan dua bahasa yang berkerabat, deskripsi sinkronis atas sekurangnya dua tahap yang sebanding tidak boleh ditinggalkan.
3. Hakekat Tanda Bahasa
Linguistik ilmiah harus harus mempelajari pola yang menyesuaikan ujaran masing – masing dengan kekangan sosial yang dipaksakan oleh masyarkat bahasa. Objek linguistik yang “konkret dan integral” ialah tanda bahasa. Mahasiswa Saussure, Whitney, menyatakan pada hakekatnya bahasa adlah pranata yang didasarkan pada konvensi sosial dan merupakan perangkat penggunaan yang berlaku dalam masyarakat dan merupakan perbendaharaan kata dan bentuk yang masing – masing adalah arbitrer dan konvensional.
Tanda bahasa “menyatukan konsep dan citra akustis, bukan benda dan nama… jadi merupakan wujud psikis dengan dua muka.”
Konsep signifie petanda tanda
Citra askustis significant penanda bahasa
Image accoustique ‘citra akustis’ bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan ujaran yang diucapakan. Komponen citra akustis jelas batasnya dan dapat ditulisakan dengan cermat, sedangkan bunyi yang diujarkan tidak. “citra bunyi tidak lebih daripada keseluruhan unsur atau fonem yang jumlahnya terbatas, yang dapat diwujudkan dengan lambing tertulis yang jumlahnya sepadan. Bunyi konkret selamanya menandai penuturnya , sedangkan bunyi yang membentuk citra akustis , yang disebut fonem, merupakan jangkauan perbedaan bunyi yang dimungkinkan oleh fonologi suatu bahasa.
Bagian lain adalah konsep yang lebih abstrak dari citra akustis. Komsep bersifat pembeda dan secara langsung bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Saussure menyebut konsep itu signifie ’yang ditandai, petanda’, dan citra akustis significant ’yang menandai, penanda’. Tanda merupakan kesatuan dua muka yang tidak dapat diceraikan.
Kesepakatan para ahli linguistik membentuk penyerdehanaan yang konvensional berupa kajian aspek psikis dari tanda bahasa, bukan aspek ujaran. Tanda adalah konkret dalam arti tidak ada satupun yang ditinggalkan dari definisi yang diperlukan sudut pandangnya karena sudut pandang yang menciptakan objek. Tanda bahasa merupakan objek integral dari linguistik. Mengkaji salah satu muka secara tepisah berarti mengkaji abstraksi dari langue, bukan faktanya.
Tanda itu ada dua jenis; tanda tunggal yang tidak dapat dianalisis atas bagian yang lebih kecil. Dan sintagma yang terjadi dari dua bagian atau lebih. Semua tanda mempunyai dua sifat utama: arbitrer dan linier. Kearbriteran bersifat tradisional, tidak ada motivasi entah aspek bunyi dalam benda yang ditandainya. Sifat ini hanya ada pada tanda tunggal. Dalam sintagma seperti kata majemuk atau frase terdapat motivasi relatif. Bentuk inflektif diwujudkan secara sama untuk menandai hubungan makna yang sama, konstruksi sintaksis yang dipergunakan dalam situasi yang sama diwujudkan secara sama pula.
Onomatope mungkin membatasi kearbitreran tanda, tapi tanda – tanda semacam itu tidak cukup banyak meniadakan prinsip – prinsip dasarnya. Kelinieran nampak dalam significant yang dipecah atas bagian yang berurutan disebut rangkaian wicara.
Sifat lain yang diajukan adalah sifat tak tertukarkan dan tertukarkan, tetapi tidak dari titik pandang yang sama. Tanda bahasa bersifat tak tertukarkan karena setiap generasi mewarisi bahasa dan tanda yang menjadi bagiannya, dan baik masyarakat maupun perorangan bersikap pasif dalam menerimanya. Bahasa merupakan contoh dari “hukum yang ditolerir masyarakat, bukannya kaidah yang disetujui secara bebas oleh anggota – anggota masyarakat”
Ada 4 alasan tanda bahasa bersifat tak tertukarkan:
tanda bersifat arbitrer, tanda apapun tak ada yang lebih baik daripada yang lain.
tanda bahasa tak terbatas jumlahnya sehingga menghalangi perubahan bahasa
bahasa merupakan sistem yang sangat rumit
bahasa adalah satu – satunya sistem sosial yang digunakan setiap orang, sehingga terdapat sikap konservatif dalm perubahan kebiasaan bahasa.
Agar kita dapat memandang kehidupan bahasa lebih objektif, perlu sekali dipertimbangkan akibat – akibat kumulatif dari para penutur dan perjalanan waktu terhadap sistem.
4. Hubungan Asosiatif dan hubungan sintagmatis
Bentuk – bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti hubungan Asosiatif dan hubungan sintagmatis. Hubungan asosiatif atau paradigmatis adalah hubungan setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain karena satuan itu serupa atau berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna. Disebut juga hubungan in absentia karena butir – butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran.
Hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Disebut juga hubungan in prasentia karena butir – butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara. Sintagma dapat berupa satuan berurutan yang jelas batasnya. Contohnya fonem, suku kata, morfem, frasa, kata dan sebagainya.
5. Perbedaan diantara Valensi, Isi dan Pengertian
Melalui dua hubungan tersebut tanda bahasa dapat diuraikan dan hasilnya adalah pemerian tentang valensi. Bahasa merupakan pengganti atau wakil dari unsur luar bahasa. Yang kita perhatikan adalah gagasan, benda, atau situasi yang menarik perhatian kita melalui si pembicara. Valensi atau nilai menyangkut subtitusi atau pergantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan. Valensi dapat ditukar dengan sesuatu yang berlainan yang dianggap nilainya sama dan dapat dibatasi melalui hal – hal serupa.
Pengertian atau signification merupakan asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep. Valensi ditentukan dengan menyelidiki unsur lain dalam system bahasa karena unsur – unsur itu beroposisi, baik paradigmati maupun sintagmatis.
Isi atau content dari sistem mencakup pengertian dan valensi. Pengertian adalah konsep positif dan valensi lebih bersifat negatif atau relatif.
Langue merupakan khazanah tanda bahasa. Tanda bahasa adalah kesatuan yang timbul dari asosiasi citra akustik dengan konsep, asosiasi inilah fakta positif dari bahasa.
Pengaruh Saussure dalam linguistik abad XX
Konsep – konsep dasarnya diterima orang dan mempengaruhi pamikiran linguistic, namun tidak semua konsep diterima mentah – mentah. Dalam kongres Linguistic International pertama di Den Haag tahun 1928, tiga sarjana pengikut Saussure menyatakan diakroni bukannya terpisah dari sinkroni, melainkan saling melengkapi. Seorang peneliti dapat bebas bergerak pada sumbu waktu tanpa mengurangi kesahihan prosedur atau hasilnya.
Pandangan Saussure tentang bahasa dijadikan landasan teori stratisfikasi oleh Sydney Lamb. Tapi pandangan itu ditentang Kenneth L. Pike yang menyatakan bahasa bukan hanya system relasi (forma) melainkan juga system satuan (substansi)
Di Amerika Serikat teori Saussure tentang tanda bahasa diabaikan orang, tidak di Eropa karena berorientasi pada semiotika. Namun pandangan tentang kearbiteran tanda bahasa banyak ditentang orang.
Jasa Saussure terletak pada dasar – dasar filosofis ilmu linguistik. Kuliahnya telah meletakan prinsip teori tentang bahasa dan menyediakan kerangka bagi linguistik modern.
Struktualisme dalam antropologi dan kesustraan
Struktualisme adalah suatu cara pandang yang menekankan persepsi dan deskripsi tentang struktur. Alam semesta terjadi dari relasi(forma) dan bukan benda (substansi) adalah prinsip dasar struktualisme.
Claude Levi-Strauss menerapkannya dalam antropologi. Analisis kebudayaan dapat dilasanakan dengan mempergunakan analisis bahasa sebagai model. Sifat paling hakiki aspek kebudayaan sama dengan sifat bahasa. System kebudayaan merupakan gabungan yang membentuk sejenis bahasa.
Sekelompok sarjana yang melibatkan ahli linguistik dan sejarah sastra seperti, Boris Eichenbaum, Victor Shklovsky, Roman Jacobson, Boris Tomasjevsky, Jury Tynyanov mempelajari struktur sastra dengan mengamati secara objektif hakekat sastra yang khas dan penggunaan alat – alat fonemis dalam karya sastra. Roman Jacobson (1896-1982) berusaha mendekati puisi secara linguistik karena poetika adalah bagian dari linguistik. Metafora bersifat paradigmatis dan metonimia bersifat sintagmatis. Kepuitisan atau fungsi puitis sebagai fungsi untuk memanfaatkan seleksi dan kombinasi untuk meningkatkan ekuivalensi, tidak terbatas pada puisi, tapi dalam semua penggunaan bahasa.
Warisan Saussure : Semiotika
Semiologi mempelajari tanda – tanda dalam masyarakat, apa saja tanda itu dan kaidah apa yang mengaturnya. Di belakang makna atau tanda perbuatan dan tingkah manusia ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Linguistik adalah sebagian kecil dari ilmu itu, tapi linguistik dapat berperan sebagai modelnya karena ciri arbitrer dan konvensional tanda bahasa. Tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena yang arbitrer dan konvensional.
Roland Barthes (1915-1980) menerapkan model Saussure dalam penelitiannnya tentang karya sastra dan gejala kebudayaan. Terdapat penanda dan petanda pada mite, keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitas. Tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda bagi bagi lapisan kedua.
Hubungan ini juga terdapat dalam bahasa literer dan estetis dengan bahasa biasa. Lapisan pertama adalah taraf denotasi, Lapisan kedua adalah taraf konotasi. Penanda konotasi terjadi dari tanda sistem denotasi. Jadi, sistem penandaaan lapisan kedua yang ditempatkan di atas sistem lapisan pertama dari bahasa terdapat pada konotasi dan kesustraan pada umumnya.
Ada pula situasi terbalik, tanda dari lapisan pertama menjadi petanda lapisan kedua. Sistem lapisan kedua menjadi metabahasa. Jadi Semiosis adalah bahan kajian bagi yang kedua dan semiotika adalah metabahasa bagi yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar